Ketika Hatiku Menemukan-Mu (Allah)

Ketika Hatiku Menemukan-Mu (Allah)
(Kisah hijrahku menjadi muslimah sejati)

Karya : Destriani_ESA_UR


“Katakanlahpada kehidupan, wahai hidup engkau memang keras dan tak mudah. Namun aku lebih keras dan tak mudah di kalahkan. Hidup itu perjuangan, maka tidak ada kesuksesan tanpa adanya perjuangan. Kalimat ini lebih tepat untuk amenggambarkan sosok keras kepala yang kerap kali ingin berubah. Jelita Cristina, nama indah pemberian orang tuaku. Tidak hanya namaku saja yang jelita, parasku juga cantik bak boneka barbie dari India. Aku hidup dari keluarga orang kaya, memiliki kehidupan yang serba ada. Tapi sayangnya aku hidup di lingkungan nonmuslim.Andai saja orang tuaku beragama islam, mungkin aku sudah memeluk islam sejak lahir. Dari sini akan ku ceritakan kisah hijrahku menjadi seorang muslimah. Saat ini aku sedang melanjutkan studi ku sebagai mahasiswi di Universitas ternama di Jogjakarta. Ku lihat mayoritas di kampusku banyak wanita berpakaian serba panjang menutupi seluruh badan. Berbeda sekali denganku. Aku berpakaian ala kadarnya bak artis top bintang korea, sebab itulah aku di juluki barbie di kampusku.
Aku tak tau kenapa mereka berpakaian seperti itu, karena orang tuaku sendiri tak pernah mengajarkanku bagaimana menutup aurat dengan baik, tapi yang jelas, aku benar-benar nyaman melihatnya. Kupandangi lekat-lekat seorang muslimah berjalan didepanku dengan anggun dan tersenyum. “Luar biasa indah nan sejuk di pandang mata” bisikku dalam hati. Aku memiliki seorang teman muslimah yang kebetulan dekat denganku. Ia juga termasuk wanita sholeha yang menutup aurat dengan sempurna. Banyak orang memandangku aneh, mungkin karena penampilanku yang cetar membahana, namun siapa sangka aku berteman dengan wanita muslimah. Jujur saja aku adalah orang yang senang bergaul, tak peduli dengan siapapun itu, termasuk temanku tadi, Yasmin namanya. Aku senang berteman dengannya, ia berwajah manis, ramah dan juga pintar. Sering kali aku mengikutinya kemana pun ia pergi, termasuk pergi sholat berjamaah di masjid. Aku selalu menunggunya diluar masjid sembari memainkan ponselku.
Tanpa tersadar aku melamun, membayangkan andai aku memakai khimar, menutupi kepala dan rambutku. Entah kenapa aku mulai tertarik memikirkan hal semacam ini, terlebih lagi jika aku melihat temanku berhijab. Semua ketertarikanku ini semakin kuat. Aku fikir akan terlihat anggun dan cantik apabila aku juga memakainya. Aku tersadar dari lamunanku. Aku tersenyum sinis pada diriku sendiri. Berfikir bahwa ini semua mustahil bagiku. Ku sisihkan uang jajanku untuk ditabung. Terbesit dibenakku untuk membeli atau sekedar mengkoleksi pakaian syar’i seperti teman-temanku. Waktu kian berlalu, sedikit demi sedikit ku belanjakan uang tabunganku untuk membeli pakaian syar’i tanpa sepengetahuan orang tuaku. Senang sekali rasanya memiliki banyak pakaian dan khimar panjang di lemariku. Lagi-lagi aku hanya bisa mengkoleksi semua pakaian-pakaian itu, dan belum bisa menerapkannya di kehidupanku sehari-hari. Tentu aku memiliki alasan tersendiri. Alasan utamaku adalah orang tuaku, belum lagi tetangga sekitarku, dan pandangan teman-temanku.
Berkali-kali aku berfikir, bagaimana wanita nonmuslim sepertiku berhijab, pasti banyak yang akan menertawakan dan mencaci ku. Belum lagi nanti orang tuaku pasti marah besar terhadap perubahanku. Aku semakin keras berfikir mencari alasan agar aku dapat menggunakan hijab. Aku tak menyerah, mungkin saja nanti akan ada jalan keluarnya. Hari ini seperti biasanya aku pergi ke kampus menggunakan busway. Kebetulan aku berangkat bersama ibuku yang hendak pergi ke swalayan. Ku pandangi ibuku, ingin ku bicarakan tentang keinginanku, tapi belum tepat sepertinya. Ibu tampak gelisah, dia terus saja mengibaskan kipas lipat miliknya ke arahku. Ada seorang bapak-bapak yang merokok tepat di sampingku.. Ternyata ibu takut bila rambut indahku yang sudah di catok dan berbau harum terkena asap rokok. Aha, akhirnya aku dapat ide. Aku menemukan alasan agar aku dapat menggunakan hijab. Aku mengangguk-angguk faham, mungkin ini saatnya aku mengutarakn keinginanku, meski harus beralasan agar orang tuaku membolehkanku berhijab.
Ku lihat ibu tengah asyik menonton tv. Inilah saatnya aku berbicara kepadanya. “Bu, aku besok pergi ke kampusnya pakai hijab ya, pakai kerudung seperti wanita yang ada didepan ibu tadi,” aku mencoba merayu. “Untuk apa kamu seperti itu, tak usahalah, nanti tak kelihatan rambut indahmu itu” ibu masih tidak setuju. “Tapi bu, ibu taukan di bus itu banyak sekali yang merokok, emang ibu mau, rambutku ini rusak dan bau gara-gara asap rokok?”. Aku tau sekali ibuku sangat membenci asap rokok, terlebih jika mengenai rambutku. Ku lihat ibu mulai berfikir. “Ya sudah, kamu boleh memakainya, tapi ingat kalau ke kampus saja, setelah itu lepas kerudungmu..“Yes, berhasil. Akhirnya aku di perbolehkan memakai hijab ke kampus. Ku cium ibuku lalu pergi ke kamarku. Betapa senangnya aku. Ku buka lemariku yang sudah penuh dengan pakaian-pakaian syar’i. Ku coba satu persatu. Wah benar sekali aku tampak cantik dan anggun didepan cermin, tak sabar rasanya untuk mnegenakannya ke kampus.
Hari ini pertama kali aku memakai hijab ke kampus, dengan percaya diri aku berjalan melewati orang-orang di sekitarku. Seisi kampus memandang takjub kearahku. Bahkan  ada yang melihatku sampai tak kedip mata. Aku tak peduli oleh pandangan mereka, terus saja ku langkahkan kaki menuju kelasku. Aku masih risih sebenarnya, ada sesuatu  mengganjal dikepalaku tidak seperti biasanya. Terus saja ku pandangi cermin yang ku bawa, ku rapikan hijabku jika tidak rapi, maklumlah namanya baru pertama. Ku masuki ruang kelas. Kelas yang awalnya ricuh tiba-tiba menjadi sepi. Semua orang melihat ke arahku. “Subahanallah, Jelita, ini beneran kamu kan, cantik banget kamu ta, serius lebih cantik dari biasanya,” Yasmin tak henti-hentinya memujiku, terlebih teman-teman lelaki ku menggelengkan kepala, tidak mempercayai perubahanku. “Wah ada anak baru nih, lagi-lagi teman yang lain menggodaku. Aku kira mereka tidak akan menyukaiku, tetapi aku salah,. Tidak seburuk yang ada di benakku, justru teman-temanku mendukung perubahanku.
Ku jalani hari-hariku kini dengan berhijab, aku sudah nyaman, tak ada lagi cermin yang harus ku bawa kesana- kemari. Berpenampilan sederhana saja sudah cukup. Toh, aku juga sudah cantik, batinku. Yasmin semakin senang melihat perubahanku dari waktu ke waktu, ku rasakan Allah sedang memberiku hidayah, Walaupun aku belum seutuhnya berubah, tapi aku tau ini adalah rencana terbaik dari-Nya. Sedikit demi sedikit ku pelajari islam melalui temanku. Sering kali ia mengajakku menghadiri pengajian. Ia mengajarkanku sholat dan membaca al-qur’an. Senang sekali mengenal islam, hatiku lebih damai dari sebelumnya. Semua ini ku lakukan tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku tak takut bila orang tuaku tahu, toh nanti mereka juga akan mengerti atas keputusanku. Ku lihat ibu sering memasang muka masam tiap kali melihatku menggunakan hijab. “Sudah, lepaslah kerudungmu itu, ibu risih melihatnya,” ibuku tiba-tiba berkata seperti itu saat melihatku hendak pergi ke kampus. “Gak apa-apa bu, kan dengan gini rambutku gak rusak”, huffft.. lagi-lagi aku beralasan. Aku berpamitan pergi. Tapi ibu mencegahku, “eh ini ada nomor pria yang ingin berkenalan dengan mu”, ibu memberikan sebuah kartu nama lengkap dengan no hp nya. Aku tak peduli, hanya tersenyum kearah ibuku dan memasukkan kartu itu ke dalam tasku.
Ku lirik kartu nama yang ibu berikan. Seketika aku tersenyum, tampan juga nih cowok. Ku lihat identitasnya, Muhammad Reyyan, bagus juga namanya, gumamku. Dia adalah lelaki muslim yang ternyata tinggal tak jauh dari rumahku. Aku pernah melihatnya sekali ketika hendak pergi ke masjid. Aku rasa ia orang yang soleh, tapi kenapa ibu mengenalkanku padanya. Entahlah aku tak ingin memikirkan perihal perintah ibuku agar berkenalan dengannya. Ku masukkan lagi kartu namanya dan fokus pada pelajaran. Tak lama kemudian, pelajaran pun berakhir.  Lelah sekali rasnya. Cepat-cepat aku pulang kerumah untuk beristirahat. Ku rebahkan badanku diatas kasur, berniat untuk tidur menghilangkansejenak lelahku. Drrrttt…drrt..drrrt.. tiba-tiba hp ku bergetar. Ku lihat ada sms masuk dengan nomor baru. Malas sekali aku membalasnya. Ku letakkan kembali hp ku. Tapi rasa penasaran menjelma di fikiranku. Nomor siapa ya kira-kira, aku mulai bertanya-tanya. Langsung saja ku buka sms itu, ternyata dari seorang pria yang ibu kenalkan kepadaku. Ia mengajakku berkenalan. Ku katakana aku sangat lelah dan tak ingin di ganggu. Ku tutup sms terakhirku, lalu terpejam.
Seiring berjalannya waktu, banyak yang sudah ku fahami tentang islam. Aku pernah mendengar, bahwa jikafisik ini berhijab, maka hatipun ikut terhijab, dan dengan hijablah akan mengindarkan kita dari perbuatan buruk. Ibu masih saja memaksaku berkenalan dan menjalin hubungan dengan pria itu. Sungguh aku tak berniat menjalin hubungan. Aku masih ingin fokus memperbaiki diri dan hijrah sepenuhnya. Aku tak kuasa membantah perintah ibuku. Ku ceritakan keluh kesahku kepada Yasmin. Ia mengerti apa yang kurasakan. Ia menyarankanku agar aku menuruti perintah ibuku. Ia tahu pasti aku tidak akan mengecewakan ibuku. Akhirnya ku ikuti saran darinya, dan berkenalan dengan lelaki itu. Awalnya tak ada rasa apapun yang ku dapatkan darinya. Dia hanya lelaki biasa yang tak cukup menarik bagiku. Tapi lama kelamaan, ada rasa aneh  muncul di hatiku. Ku lihat rutinitasnya sehari-hari. Dia adalah pria yang baik, soleh, rajin beribadah, pandai mengaji, sering ke masjid,dan sudah mapan.A perfect husband, fikirku. Hatiku mulai mengaguminya, tapi kebimbangan masih bersemayam di fikirnku. Sebenarnya apa tujuan ibumengenalkannya padaku?. Hatiku mulai ragu.
Baru saja aku memasuki rumah, ku lihat ibu langsung menghampiriku. “Eh ta, gimana PDKT kamu sama dia?? Berjalan lancar?, Aku heran dengan ibuku, kenapa ia bersemangat sekali menanyakan hal itu. “Biasa aja bu, tidak ada yang spesial kok… jawabku ketus. “Haduuh, kamu nih gimana sih, ibu kenalkan dia sama kamu, biar dia bisa jadi menantu ibu, supaya dia bisa memeluk agama seperti kita dan meninggalkan islam,” ibuku berbicara panjang lebar. Aku terkejut, jadi ini tujuan ibuku selama ini. Aku benar-benar kecewa. Ibu tak tahu bahwa sebenarnya akulah yang ingin memeluk islam, tapi kenapa ibu berfikiran seperti itu. Ingin menangis rasanya, ku tinggalkan ibuku dan pergi menuju kamarku. “Andai saja aku tahu maksud ibuku, mungkin tak akan ku terima perkenalannya waktu itu. Aku menyesali semuanya. Aku tahu Tuhan sedang memberiku ujian. Aku tak lagi menghiraukan sms dan telfon darinya. Aku tak ingin melibatkan dirinya demi keinginan ibuku. Ia lelaki soleh, dan aku belum pantas untuknya.
Aku masih saja mempelajari islam secara diam-diam. Aku tak ingin hanya karena seorang pria mengahambat proses hijrahku, walaupun aku tahu ia pria yang soleh. Aku Cuma ingin menjadi sesorang yang pantas untuk pendampingku kelak. Aku tak menyerah begitu saja. Aku berusaha mencari orang-orang yang benar-benar mendalami islam, tidak hanya itu, aku juga mencari di internet dan bertanya perihal islam kepada temanku Yasmin. Semakin hari semakin ku rasakan keyakinan ini untuk memeluk islam. Aku tetap tak peduli jika orang tuaku mengetahui rutinitasku. Aku siap menanggung resikonya. Akhirnya ibuku mengetahui semuanya. Ia menceritakan perihal ini juga kepada ayahku. ku lihat amarah mereka membara. Mereka memarahiku dan melarangku untuk meneruskan keinginanku. Mereka mengurungku di kamar dan tak memperbolehkanku keluar rumah. Hatiku hancur berkeping-keping, lagi-lagi Tuhan menguji keinginanku untuk berhijrah. Aku tahu orang tuaku tak akan pernah setuju kalau aku masuk islam. Aku memberitahu keadaanku saat ini kepada Yasmin, ia turut bersedih atas apa yang terjadi padaku. Aku tak menyerah begitu saja. Walaupun aku tidak keluar rumah, Yasmin senantiasa membantuku untuk terus mendalami islam. Aku berdoa agar Tuhan memberiku jalan keluar.
“Hallo…iya…apa? Oke, saya kesana sekarang juga… baiklah saya akan melangsungkan penerbangan malam ini” ayahku menerima telfon dari salah satu perusahaannya di luar negeri. Aku tak tahu pasti masalah apa. Tapi sepertinya masalah serius. Aku bersyukur, mungkin saja Allah sedang memberiku jalan keluar. Ayah dan ibuku akan berangkat malam ini ke luar negeri. Itu tandanya aku bisa keluar tanpa sepengetahuan mereka. Ibu dan ayahku berpesan agar aku tidak pergi kemana-mana tanpa sepengetahuan mereka, dan harus tetap berada di kamar sampai mereka tiba di rumah, kalau tidak amarah mereka akan semakin memuncak. Aku hanya mengangguk faham. Berharap orang tuaku tidak mencurigai rencanaku untuk kabur dari rumah. Ku lihat ayah dan ibuku ku sudah pergi menuju bandara. Aku bersiap-siap menyiapakan semua keperluan yang aku butuhkan. Ku tinggalkan pakaian-pakaianku yang dulu, ku ganti semua dengan pakaian syar’i yang telah ku miliki.
Aku kabur melewati jendela, kebetulan jendelaku tepat di samping pintu pagar. Perlahan ku langkahkan kakiku keluar dari rumah itu. Aku masih merasa takut sebenarnya, takut kalau tiba-tiba ada yang melihatku, lalu melaporkanku ke ayah dan ibuku. Aku tak peduli,yang terpenting aku bisa keluar dari rumah ini dan pergi ke tempat yang aku inginkan. Aku tak tahu harus kemana. Ingin ku langkahkan kaki ke rumah Yasmin, tapi aku tahu, orang tuaku akan mencariku kesana, karena dialah teman terdekatku. Ku hubungi Yasmin segera. Ia menyarankanku agar pergi ke sebuah pesantren tempat ia menuntut ilmu agama. Ia berikan alamatnya. Aku langsung mencari taksi menuju alamat tersebut. Aku tahu ini adalah tempat terbaik untukku. Ku temukan alamat yang diberikan oleh temanku. Betapa terkejutnya aku ketika langsung di sambut ramah oleh orang-orang di pesantren itu.
Ternyata beginilah islam, indahnya kebersamaan, dan kokohnya pesaudaraan, membuattekadku semakin besar untuk segera memeluk islam. Beberapa hari aku berada di pesantren ini, tentram sekali rasanya. Kini hatiku benar-benar mantap untuk memeluk islam. Hari ini ku yakinkan hatiku dan ku kuatkan tekadku untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan di saksikan oleh santri dan santriwati, seorang pimpinan pesantren bersiap membimbingku mengucapkan dua kalimat syahadat. Ku dengarkan dengan seksama ucapan dua kalimat syahadat, dengan menyakinkan hati dan jiwaku untuk memeluk islam. “Asyhadu an-laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah” akhirnya ku ucapkan dengan fasih dua kalimat syahadat. Alhamdulillah, kini aku sudah memeluk agama islam. Subahanallah.. tak pernah terbayangkan bahwa aku akan menjadi bagian dari saudara seimanku disini. Semua akhwat memelukku dengan tetesan airmata, berkali-kali mengucapkan syukur atas masuknya aku ke dalam agama islam.
Ku pandangi langit. Begitu indah dan mempesona. Aku tersadar, kuasanya sungguh luar biasa. Tak pernah kurasakan nikmatnya begitu besar. Aku di kelilingi orang-orang yang soleh dan sholeha. Malam semakin larut. Aku segera masuk ke kamar untuk beristirahat. Ku dengar suara gaduh di luar. Suara apa itu, malam-malam begini ada keributan. Aku segera mengenakan hijabku, kemudian keluar menuju kearah dimana suara itu berasal. Masya allah.. ternyata itu adalah ayah dan ibuku. Darimana mereka tahu tempat ini. Sekilas ku lihat Yasmin ada bersama mereka. Ia langsung memelukku dan meminta maaf kepadaku. Ayah dan ibuku memaksanya agar memberitahu keberadaanku. Aku mulai menangis dalam dekapannya, takut tiba-tiba ayahku memaksaku pergi dari tempat ini, aku tidak mau. Aku tidak rela jika harus murtad dari islam. Yasmin memelukku erat, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Situasi semakin gaduh. Ayah berteriak memanggil namaku. Pak kyai datang bersama ustad dan ustdzah lainnya, mencoba meredam amarah ayahku.
Ku lihat amarah ayah sangat memuncak. Ia menarikku dan melepaskan hijab dari kepalaku. Ia menginginkanku agar aku keluar dari islam dan kembali ke agamaku semula. Aku menangis. Semua menangis menyaksikanku di siksa oleh ayahku sendiri. Ia menamparku, dan mengatakanku anak durhaka. Ya allah, begitu kuat ujian-Mu. Begitu berat cobaan-Mu. Aku berusaha kuat dan tegar. Aku tak menyerah walaupun nyawaku taruhannya. Tak adalagi yang bisa melerai amarah ayahku. Hingga akhirnya pak kyai mendekatinya, dan mengusap bahunya. Berkali-kali pak kyai mengucapkan istighfar agar ayahku bisa meredam amarahnya. Tak lama kemudian suasana kembali tenang. Tapi tetap saja amarah ayahku belum reda. Aku terus menangis terisak-isak, takut sekali rasanya. Pak kyai menjelaskan semuanya. Mulai dari keinginanku memeluk agama islam, hingga aku memutuskan untuk berada disini. ku lihat ayah dan ibuku mulai mngerti akan keputusanku. Mereka melihat ketakutan dalam diriku. Ku lihat ayah menatapku. Aku menunduk, takut kalau ayah akan menamparku lagi. Ibu menedekatiku dan memelukku “maafkan ibu ta, maafkan ayah, maafkan kalau kami tidak mengerti keinginanmu. Kami egois. Kami tahu semua sudah menjadi keputusanmu. Lakukanlah jika itu yang terbaik”. Ibu mencoba menenangkanku.
Ku usap air mataku dan kupeluk ibuku erat. “Maafkan Jelita bu, tapi ini lah jalan hidup jelita, tolong izinkan Jelita memilih jalan Jelita sendiri”. Airmata ini tak hentinya mengalir. Ayah juga minta maaf kepadaku karena sudah kasar terhadapku. Tak lama mereka pulang ke rumah. Mereka memelukku, dan berpesan agar aku bisa menjaga diri dengan baik. Sungguh Allah lah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ia luluhkan hati orang tuaku. Dan kini tak ada lagi yang perlu aku tutupi dari mereka. Aku mulai tekun menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslimah. Sudah lama sekali sepertinya aku tinggal di pesantren ini. Aku rindu rutinitas dikampusku. Aku rindu dengan teman-temanku. Rindu dengan pelajaran yang aku sukai. Aku sangat bersyukur bertemu dengan mereka. Aku sudah tak lagi seperti Barbie yang dulu. Kini aku sudah seperti ninja. Berpakaian serba tertutup dan memakai cadar. Subahanallah.. kuasa Allah ialah yang paling besar. Ku utarakan  niatku untuk berpamitan meninggalkan pesantren. Dan memulai aktivitas seperti biasanya. Pak kyai mendukungku. Ia selalu berpesan agar aku senantiasa menjaga iman, hati, dan lisan. Ku ingat selalu nasihatnya. Ia adalah orang yang paling bekesan dalam hidupku. Memberiku banyak motivasi, ilmu agama dan petuah-petuah hebat lainnya.
Ku jalanin aktivitasku sehari-hari. Aku kembali ke kampus seperti biasanya. Tak sabar rasanya bertemu teman-teman sekelasku. Aku sangat rindu. Teman-temanku juga sangat merindukanku. Terlihat dari sorot mata mereka yang sudah lama menantikan kehadiranku. Satu persatu teman-teman akhwat memelukku dan bersyukur atas hijrahku untuk memeluk islam. “Wah-wah… si Barbie udah berubah jadi ninja nih, teman-temanku lagi-lagi meledekku. Mereka tak benar-benar menghinaku, hanya bercanda untuk mengiburku. Beruntungnya aku memiliki teman seperti mereka. Setelah selesai kuliah, aku berniat pulang kerumah menemui ayah dan ibuku. Rindu sekali dengan mereka. Walaupun mereka sering marah, tetap saja rasa sayang ini tak akan pernah tergantikan. Sesampainya dirumah kudapati ayah dan ibuku sedang duduk di ruang tv, menonton dan mengobrol bersama. Kukagetkan mereka dengan kedatanganku. “Ayah.. ibu.. aku rindu.. ku peluk mereka berdua. Betapa senangnya ku lihat mereka tersenyum atas kedatanganku.
Aku tak lagi tinggal bersama orang tuaku. Aku memilih sebuah kos-kosan muslimah, agar aku bisa dengan tenang beribadah kepada Allah. Alhmdulillah… aku benar-benar bersyukur untuk kesekian kalinya. Bersyukur walaupun banyak rintangan yang Allah berikan, Allah selalu memberiku jalan keluar. Aku selalu berdoa suatu saat ayah dan ibuku menyusulku untuk masuk ke dalam islam. Aku berjalan mengelilingi halaman rumahku. Lama sekali tak ku hirup udara di sekitarnya. Tanpa sengaja ku lihat ada seorang pria memandang ke arahku. Ia tersenyum. Aku tak tahu siapa itu, tapi wajahnya seperti tak asing bagiku. Aku mengingat kembali, dia adalah pria yang pernah aku kenali. Pria yang ibu kenalkan padaku waktu itu. Ternyata dia masih mengingatku. Drrt…drrt..drrt.. sebuah sms masuk. “Assalamualikum ukhti. Senang mendengar bahwa kamu sekarang memeluk islam, Alhamdulillah”. Baru ku ingat wajahnya, langsung saja ku terima sms darinya. Aku tersipu malu, “Wa’alaikumussalam akhi, terima kasih sebelumnya. Inilah keputusan ana khi, semoga ana bisa istiqomah, do’akan yaJ” ku balas chat itu dengan pipi memerah. Haduh kenapa baper gini ya..? ku tepis rasa baperku, dan segera masuk kedalam rumahku.
Hari telah berganti. Banyak sekali perubahan yang aku rasakan setelah memeluk islam, hatiku tentram dan damai. Ku nikmati setiap hembusan nafas dalam hidupku, mengagumi betapa indahnya ciptaan Allah. Yasmin sahabatku, terus mengingatkan ku dalam kebaikan, ia selalu menegurku jika aku salah, ia menasihatiku jika aku berbuat sesuatu yang buruk. Jujur aku senang memiliki sahabat sepetinya. Sebentar lagi aku akan menyelesaikan perkuliahanku, dan kini aku benar-benar fokus agar segera lulus dan menjadi sarjana. Berkat usahaku yang tekun dan gigih, aku berhasil menamatkan S1 ku dengan predikat cumlaude. Aaah leganya… aku berniat untuk mengambil S2 di luar negeri. Ayah dan ibuku setuju. Maka segala sesuatunya mulai ku perisapkan. Drrrt.. drrrt…drrrttt. Hp ku berbunyi. Ku lirik Hp ku, dan ku lihat Reyyan menelfonku. “Assalaamualaikum ukh, alhmdulillah, ana ikut senang atas kelulusannya,” ia memulai pembicaraan. “Wa’alikumussalam akhi, terima kasih akh,” aku senang menerima ucapan selamat darinya.

Tak lama kami mengobrol ia mematikan telfon. Aku terkejutketika melihatnya sudah berada disamping ayahku. “Loh kenapa dia ada di sini, tadikan abis nelfon,” aku semakin bingung. Ia mendekatiku, begitu juga ayah dan ibuku. Aku memandang aneh kearah mereka. Ia berdiri tepat di hadapanku. “Ukhti, will you marry me?”. Jujur aku terkejut, Oh Allah, apa aku gak salah dengar?, dia melamarku didepan orang tuaku. Sungguh hati ini senang luar biasa. Tanpa berfikir panjang, ku anggukkan kepala, and I say “YES”. Ayah dan ibuku senang. Kini aku sudah menyempurnakan separuh agamaku, dan melanjutkan studi S2 ku di temani oleh suami tercinta. Ada kata yang tak mampu ku ucap, untuk semua kesulitan dalam hidupku. Bersyukur kunci utamanya, Berjuang adalah bukti nyataku. Yakinlah tak ada sulit yang tak berkesudahan, tak ada sakit yang tak berkesembuhan, setiap ujian pasti sesuai kemampuan. Maka lakukanlah pilihan terbaik dalam hidup ini. TAMAT J

Komentar

Postingan Populer