My Hijrah Due To Allah
MY HIJRAH DUE TO ALLAH
Oleh : Ria Luli Muktianingsih_ESA_UR
Sore ini
langit begitu indah, cuaca sangat mendukung untuk melangkahkan kaki ini menuju
ke majelis ilmu. Seharusnya diri ini begitu lelah karena hari ini jadwal kuliah
begitu padat, tetapi tidak memberatkan langkahku menuju mesjid kampus ini
mengingat ada kajian setiap minggunya. Begitu ringan langkah kaki ini menuju
majelis Allah ketika hidayah datang, tekad dan niat untuk berhijrah membuatku
lebih bersemangat lagi menjalani hari-hari untuk selalu berproses menjadi baik.
Aku jadi
teringat kejadian dua tahun silam, saat itu di akhir Desember 2015, kakak
satu-satunya yang ku punya menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit umum di
daerah kota yang jarak tempuhnya sejam dari rumah. Saat itu aku sedang libur
kuliah dikarenakan minggu tenang sebelum ujian akhir. Sebut saja Kak Via, ia
sebenarnya baru menyelesaikan kuliahnya di UMS Surakarta tahun 2014 dan bekerja
di Riau selama lebih kurang setengah tahun dan kemudian sakit selama 4 bulan.
Selama
Kak Via sakit, aku selalu mengunjunginya setiap malam walaupun jarak dari
kampus ke rumah sakit tidak terlalu jauh, lagian ayah dan ibu pasti menungguku
untuk gantian menjaga Kak Via di rumah sakit. Siapa yang menyangka seorang
perawat seperti Kak Via yang kelihatan selalu sehat, tiba-tiba sakit dan tidak
sadarkan diri selama 2 minggu. Aku tidak terlalu khawatir dengan keadaan Kak
Via karena aku punya pacar yang selalu menguatkanku dan memberi semangat
padaku. Setiap malam pacarku selalu meneleponku dan bertanya mengenai keadaan
Kak Via, maklumlah kami ini pacaran jarak jauh atau LDR an, sehingga kami hanya
bertemu setahun sekali.
Tibalah
ketika malam itu, aku lagi pengen sendiri dan memutuskan untuk pergi shalat ke
mesjid, lagian keadaan kakak sudah sedikit membaik. Aku pun pamit ke ibu, karena
ayah juga pulang ke rumah untuk menjemput barang yang ketinggalan. Di mesjid
aku shalat magrib berjamaah dan setelah itu berdoa untuk kesembuhan Kak Via
juga kusempatkan membaca kalam Allah SWT. Setelah aku rasa cukup, aku pun
langsung menuju ke rumah sakit kembali. Di rumah sakit hanya ibu sendiri yang
menjaga Kak Via dan kondisi Kak Via sudah membaik walaupun seperangkat alat
oksigen masih dipakainya.
Tak lama
kemudian pacarku meneleponku, aku pun langsung beranjak keluar dari kamar Kak
Via. Aku buru-buru mengangkat teleponnya dan kami bercakap-cakap dan lagi-lagi
kekasihku memberi semangat kepadaku dan aku sungguh senang mendapat perhatian
darinya. Dua orang dokter melintas di depanku seperti terburu-buru sambil
membawa beberapa alat pernapasan. Aku hanya berfikir bahwa dokter itu akan
memeriksa pasien yang sekamar dengan Kak Via, karena yang ku lihat keadaan Kak
Via sudah membaik. Tapi tak lama setelah itu, aku pun dikagetkan oleh seseorang
yang ternyata keluarga dari pasien yang sekamar dengan Kak Via. Katanya, “Itu
mamanya kenapa dek? Nangis-nangis di dalam sendirian.” Aku tersentak,
“Astagfirullah,iya buk?” aku pun langsung mematikan telepon pacarku dan
langsung bergegas untuk masuk. Ternyata ibu sudah menangis dengan memegang dan
memeluk Kak Via. Aku begitu terpukul bahwa ternyata kedua dokter itu bukan ke
pasien yang sekamar dengan Kak Via, tapi berusaha menyelamatkan nyawa Kak Via.
Ya Allah, betapa terkejutnya saat ternyata Kak Via tak bisa diselamatkan. Ibu
terus menangis, aku pun masih tak percaya. Ibu pingsan-pingsan terus, bahkan
aku juga tak kuat menerima kenyataan yang ada, tapi aku berusaha menenangkan
Ibu. Ayah masih belum datang, aku berusaha menelepon ayah tapi tak diangkat.
Pacarku juga terus menghubungiku karena aku mematikan teleponnya tiba-tiba.
Suasana
masih begitu sangat kelam yang kurasakan, jujur aku tak sanggup dan masih belum
bisa menerima kenyataan ini. Apalagi melihat wajah ibu yang pasrah karena aku
tau ibu pasti sangat lelah 4 bulan menjaga Kak Via di rumah sakit bersama ayah,
sungguh sangat tak sanggup aku melihatnya. Tak lama kemudian ayah datang, dan
ayah langsung tersungkur lemah ketika datang lalu melihat ibu menangis
meronta-ronta dan wajah Kak Via sudah terbalut kain putih serta alat-alat di
tubuh Kak Via sudah di lepas semua. Aku bingung, aku tak tau harus melakukan
apa, aku masih sibuk mengurus ibu yang sebentar-bentar pingsan dan ayah juga
terdiam. Suster membawakan surat yasin dan kami bersama-sama membacakan di
sekeliling Kak Via. Setelah selesai, aku langsung mengabari adikku yang dirumah
walau sebenarnya aku masih belum kuat untuk mengabarkan berita duka ini. Dan
betul, bahwa adik laki-lakiku juga tersentak dan menangis mendengar kabar itu.
Aku juga berusaha menghubungi keluarga-keluarga yang lain meskipun rasa sedih
masih kurasakan, tapi aku berusaha untuk tetap kuat. Bahkan ujian akhir yang
seminggu lagi akan dilaksanakan pun sudah tak ku fikirkan lagi.
Tak
lama, Paman pun datang bersama saudara yang lain dan berusaha mengurusi masalah
administrasi Kak Via. Ambulan pun sudah siap dan kami pun menuju rumah.
Beberapa meter menuju rumah, bendera putih sudah terpasang. Mata ibu dan aku
sudah membengkak, apalagi sesampainya di rumah di sambut dengan
tangisan-tangisan. Ya Allah, apa ini, ini tidak adil, kenapa ujianMu begitu
besar terhadap kami, begitu fikirku. Di dalam rumah, adikku sudah menangis dan
mencoba menguatkan ibu, “sabar ya bu, masih ada adek, ibu jangan nangis terus.”
Ibu malah pingsan lagi, dan aku juga tak tau apa-apa lagi. Pagi harinya, acara
pemakaman pun disiapkan setelah jenazah Kak Via di mandikan dan di sholatkan
kami pun langsung menuju area pemakaman. Ya kesedihan masih tak bisa terbendung
lagi. Sosok yang begitu baik di kenal, dan akhirnya harus bertemu Allah lebih
duluan.
Seminggu
setelah itu, aku tetap berusaha mengikuti ujian akhir walaupun suasana
kesedihan masih mewarnai. Entah kenapa aku masih tetap bersemangat untuk ujian
karena saat itu ujian pertamaku di dunia perkuliahan. Setelah siap ujian, aku
pun mendapat hasil yang memuaskan. Ya mungkin berkat dorongan semangat dari
pacarku, dia selalu ada untukku saat bahagia maupun sedihku. Pacarku kembali
dari tanah rantaunya dan aku menjemputnya ke bandara. Aku bahagia dengan
kepulangannya dan dia sering juga main ke rumah. Walaupun ibu tidak suka
sepertinya melihat pacarku, karna ibu memang tak membolehkan anaknya
berpacaran. Aku memang sering bohong kepada ayah dan ibu saat berpacaran
dengannya, aku sering diam-diam bertemu dengannya, sering diam-diam ke belakang
rumah mencari tempat sepi untuk bisa menelpon pacarku ini. Aku hanya
mengenalkan pacarku ini sebagai kawanku, tapi ayah dan ibu pacarku tahu bahwa
aku berpacaran dengan anaknya bahkan aku juga sering berjumpa dengan
keluarganya walaupun jarak rumah kami sangat jauh karena beda daerah.
Setelah
setahun lamanya kami berpacaran, tiba-tiba ia berubah. Ia mulai jarang
menghubungiku dan bersifat cuek denganku. Aku pun merasa sedih dan apalagi
akhir-akhir ini aku lihat di sosmed teman-temannya, dia sering jalan bersama
teman wanitanya. Aku sangat marah sebenarnya, dan berusaha meminta penjelasan
dia, tapi dia hanya berkata cuma teman. Setelah sebulan ia berubah, tiba-tiba
ia memutuskan hubungan kami dengan alasan ia ingin serius belajar dan tak mau
berpacaran lagi. Ya aku cukup bisa terima dengan keputusannya, karena alasannya
begitu masuk akal. Aku juga berusaha untuk menyibukkan diriku dengan banyak
aktivitas-aktivitas bermanfaat di kampus. Aku juga masuk ke lembaga dakwah
Islam di kampus atau biasanya waktu SMA disebut rohis. Aku dulu sejak SMA
memang anak rohis, aku juga tahu kalo pacaran itu haram, tapi ya rohisku ini
abal-abal yang cuma pengen ikut-ikutan, yang kalau ada ceramah atau materi dari
murobbi itu hanya angin lalu saja.
Tapi di
masa kuliah, Rohis yang kurasakan sangat berbeda, sangat indah dan penuh
persaudaraan. Akhwat-akhwat di dalamnya jika dipandang sangat adem dan
menyejukkan, jilbab panjangnya membuat wajahnya dipancari cahaya, lemah lembut
tutur katanya, beserta ibadah-ibadah sunahnya membuatku penasaran dan ingin
lebih dekat lagi dengan mereka. Sampai akhirnya aku sudah nyaman dengan para
akhwat rohis kampus, yang mana sedikit demi sedikit aku mulai memperbaiki
diriku mulai dari pakaian yang tidak ketat dan hijab yang tidak menerawang
mulai ku gunakan walaupun aku harus mengganda jilbab agar tidak kelihatan
rambutnya. Aku mulai sering berada di sekre rohis kampus itu, sering bersama
para akhwat dan kakak senior di mushala untuk tilawah ataupun menghadiri
kajian-kajian. Aku semakin merasakan bahwa, “Ya Allah, apa yang kulakukan
selama ini? Kenapa waktu yang Engkau berikan yang seharusnya ku gunakan untuk
beribadah pada-Mu malah kujadikan untuk kegiatan maksiat dan tidak
bermanfaat?.” Aku selalu menangis dan seluruh tubuh gemetar melihat dan
mengingat dosa-dosa yang kulakukan, bahkan aku ini tidak peka dengan
teguran-teguran Allah dan cobaan serta ujian yang Allah beri. Padahal aku tau
bahwa semua itu karena maksiat-maksiat yang pernah aku lakukan. Bahkan dulu
ketika kekasih tak halalku memutuskanku itu, ternyata bukan karna ingin fokus
kuliah tapi karena ada wanita lain yang membuatnya lebik tertarik kepada wanita
itu. Aku bersyukur karena Allah masih memberikan hidayahNya kepadaku walau aku
sering tidak perduli dengan sapaan-sapaan hidayah Allah itu. Aku juga bersyukur
walaupun Allah mengambil kakak yang ku sayangi, tapi Allah menggantinya dengan
kakak-kakak dan sahabat-sahabat sholihah yang lebih banyak. Ya Allah, maafkan
hamba-Mu ini.
Sekarang
aku sadar, hidayah itu memang tak bisa ditunggu tetapi dijemput. Sebenarnya
hidayah itu selalu datang, tapi sering sekali acuh malah bahkan menolaknya
karena fatamorgana dunia terasa lebih indah. Sekarang aku menjalani
aktivitas-aktivitas dakwah di kampus, aku berusaha mengikutinya, aku tau bahwa
proses memperbaiki diri ini akan terus ada di sepanjang hidupku, karena
berproses menjadi baik itu baik. Aku bersyukur dijauhkan dari laki-laki yang
ternyata tidak baik untukku. Allah berusaha menyelamatkanku dari hal-hal yang
menyimpang. Kadang aku berfikir kenapa tidak dari dulu aku sadar akan
sapaan-sapaan Allah yang begitu sungguh nikmat rasanya jika aku mau
menerimannya. Kini aku berusaha untuk terus melakukan semuanya hanya karena
Allah, karena masih banyak di diri ini yang harus diperbaiki, dan dosa-dosa
yang harus di mintai ampunannya kepada Allah. Aku yakin Allah pengampun segala
dosa walaupun dosa itu sebanyak buih di lautan. Menyerahkan diri kepada Allah
saja belum tentu Allah akan memasukkan ku ke surgaNya. Tapi aku harus jadi
manusia yang bersyukur agar nikmat dari lapis-lapis keberkahan dari Allah bisa
terus kusyukuri.
Aku
tersentak kaget, setelah sahabat sholehku mengagetkanku. Ternyata aku sudah
satu jam termenung mengingat masa laluku yang banyak hikmah bisa diambil di
dalamnya. Kami pun bergegas untuk shalat Ashar. Kini aku menjalani hidupku
dengan penuh rasa bahagia dan syukur kepada Allah. Aktivitas dakwah pun ku
lakukan, walaupun kadang penuh onak dan duri, tapi aku tetap harus menjalaninya
karena dakwah saja belum tentu bisa menghapus dosa-dosaku. Aku mulai senang
mengerjakan amalan-amalan sunah walaupun sering tidak konsisiten. Ya Allah,
ternyata lezat sekali nikmat Islam dan Iman yang Engkau berikan. Terimakasih ya
Rabb, Allahuakbar...
Komentar
Posting Komentar